Wednesday, November 2, 2011

MERDEKA YANG TERJAJAH

Indonesia telah merdeka 66 tahun lalu. Sungguh anugrah Tuhan Yang Maha Esa,  Negara ini sudah kaya akan sumber daya alam, kaya akan budaya, kaya akan laut dan wilayah, merdeka pula! Tapi mengapa? Mengapa sampai saat ini Indonesia saat ini  seakan akan belum merdeka? Indonesia masih terjajah. Terjajah oleh bangsanya sendiri, terjajah oleh kita!

Hal ini benar mengingat Negara kita seakan kehilangan
identitasnya. Tak ada lagi orangtua yang menamai anaknya ‘sutrisno’ melainkan ‘james’, tak ada lagi anak kecil yang bermain ‘congklak’ melainkan ‘playstation’, tak ada lagi generasi muda yang memainkan tari daerah melainkan modern dance, dan masih banyak contoh lain. Bahkan Indonesia sebagai Negara yang menjujung tinggi budaya timur kini mulai mengedarkan film-film karya anak bangsa yang mengekspos adegan yang dulu ‘katanya’ tidak senonoh.

Di era 1990an,  ‘telenovela’  sedang populer. Seakan mengekor kesuksesan telenovela, Indonesia pun menyajikan ‘sinetron’ yang alur ceritanya pun mengikuti konsep serial dari Amerika Latin itu. Bahkan ‘sinetron’ menjadi ‘santapan’ wajib bagi ibu-ibu di malam hari. Popularitas sinetron begitu marak bahkan menenggelamkan popularitas serial TV aliran Indonesia seperti Keluarga Cemara,  Wiro Sableng, dan Si butadari Goa hantu.

Kemudian,  diawal 2000-an  Indonesia marak dengan budaya mandarin yang dibawa oleh Meteor Garden. Maka tersebarlah segala film-film berlatar belakang tionghoa dan semacamnya. Sampai akhirnya saat ini Indonesia tengah marak dengan budaya  Korea. Bahkan di Indonesia mulai banyak bermunculan boy band dan girl band lokal yang konsep music maupun gaya berpakaian mengikuti aliran negeri ginseng tersebut.

 Sejauh penjabaran ini, tampak sekali bahwa bangsa kita selalu menenggelamkan dirinya sendiri di dalam lautan budaya Negara lain.  Seakan tidak percaya diri dengan kebudayaan yang kita miliki,  kita buang jauh-jauh kebaya, keroncong, bahkan logat daerah kita sendiri.

Segitu inginnya pemuda Indonesia diterima masyarakat global, kita melupakan apa yang ditanamkan di hati para pahlawan. Yaitu, nasionalisme. Nasionalisme adalah situasi kejiwaan dari kesetiaan seseorang secara total yang diabdikan langsung kepada Negara bangsa atas nama sebuah bangsa (Yasni, 2009:30). Dalam pelaksanaannya, wujud kesetiaan dan pengabdian pada suatu Negara adalah dengan menumbuhkan rasa bangga akan identitas nasional Negara itu sendiri.

Nah, ketika membahas tentang identitas nasional, tentu kita tahu bahwa hal tersebut adalah salah satu komponen penting yang harus dimiliki suatu bangsa. Kenapa identitas nasional dianggap penting? Menurut Koenta Wibisono,  “identitas nasional merupakan suatu manifestasi nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam aspek kehidupan suatu bangsa dengan ciri-ciri khas dan dengan khas tadi suatu bangsa berbeda dengan bangsa lain dalam kehidupannya.”   Teori ini jelas sekali menyatakan bahwa dengan adanya identitas nasional, suatu bangsa mempunyai ciri khas masing-masing yang  dapat membedakan bangsa satu dengan bangsa lainnya. Jika saja kita tidak mengindahkan identitas nasional kita, ‘Indonesia’ hanya ‘Indonesia’. Hanya akan menjadi sebuah sebutan saja karena isinya sama dengan Amerika atau Korea.

Kita sebagai bangsa Indonesia sesungguhnya ‘Merdeka’ menyaring budaya luar yang masuk ke Negara kita. Akan tetapi, karena tak pandai menyaring kita malah jadi ‘terjajah’  oleh budaya luar itu sendiri. Pada awalnya kita seakan ‘merdeka’ ketika budaya luar merasuki kita. Akan tetapi ketika budaya kita sendiri yang kita lupakan dirampas oleh Negara lain kita malah berkoar-koar tidak terima seakan merasa ‘terjajah’. Inilah yang saya sebut sebagai ‘Merdeka yang Terjajah’. Inilah wajah bangsa kita sejauh ini. Tragis.

 Mulai dari sekarang, apa salahnya kita sebagai calon pemimpin bangsa mulai intropeksi diri. Terbuka oleh budaya luar itu sah saja, tapi jangan lupakan dari mana kita berasal. Mulailah dari hal dasar dulu. Indonesia terkenal dengan ramah tamah, sopan santun, serta masyarakatnya yang  menjunjung tinggi budaya timur. Maka dari itu mulailah dari sekarang hindari perbuatan yang bertolak belakang dari aspek-aspek tersebut. Contohnya seperti tawuran, membiarkan lansia berdiri di angkutan umum sedangkan kita duduk,  dan seks bebas.

 Hal tersebut memang sekilas tak kasat mata, tapi sebenarnya apa yang kita lakukan  di kehidupan sehari-hari dalam bermasyarakat itu menunjukkan identitas nasional kita. Karena sebenarnya akal budi merupakan salah satu unsure pembentukan identitas nasional.

Langkah yang paling awal dalam membentuk suatu perubahan adalah memang diri sendiri. Setelah itu, ada baiknya kita menghindari budaya luar yang dianggap negatif oleh kacamata Indonesia. Misalkan saja dengan menghindari film-film horror porno yang belakangan ini marak di Indonesia. Karena sesungguhnya yang membuat film-film itu beredar luas di Indonesia adalah peminat dari film-film tersebut yang banyak.

Setelah itu, ada baiknya ketika weekend kita sekali-sekali absen dari aktivitas shopping di mal dengan mendatangi tempat-tempat bersejarah. Seperti ke museum, candi-candi, dan makam pahlawan. Karena, mempelajari sejarah dengan mendatangi lokasinya secara langsung merupakan metode yang cukup manjur untuk memahami bahkan ikut merasakan atmosfir sejarah tersebut. Mempelajari sejarah merupakan salah satu metode yang tepat dalam menumbuhkan identitas nasional kita. Karena menurut Rudolfo de la Garza, ia menyatakan bahwa national history merupakan salah satu bagian terpenting dalam komponen identitas nasional. Keduanya terhubung sangat erat. Jadi,  bisa dikatakan kalau sejarah merupakan jembatan penghubung  yang menghubungkan jiwa kita dengan segala estetika budaya Indonesia yang sempat kita lupakan.

Kemudian, jika ada waktu bersantai mari sejenak kita lepaskan mata kita dari pengaruh buruk sinar televisi, laptop, atau layar bioskop dengan menonton pertunjukan wayang, tari daerah, atauteater. Selain dapat melepas stress dan merilekskan tubuh, aktivitas ini dapat menumbuhkan rasa cinta pada budaya Indonesia. Bahkan ketika kita merantau ke negeri manapun kita bisa saja merindukan pertunjukan ini karena kita akan jarang menjumpainya ketika kita berada di Amerika, China, Korea, dan di tempat-tempat yang ‘bukan Indonesia’. Rasa rindu muncul karena mencintai. Rasa cinta inilah yang mengantarkan kita menjadi the real Indonesian. Dan ketika kita sampai pada titik ini, maka selamat! Kita benar-benar menjadi apa yang para pahlawan kita inginkan. Mereka mati untuk mempertahankan ini. Untuk mempertahankan cinta pada Indonesia.

Untuk anak bangsa, kedepannya kita harus menonjolkan karakter kita yang sesungguhnya. Jangan mau lagi dijajah. Jangan mau lagi berkarya di dalam lautan budaya Negara lain. Berkaryalah kita dengan ‘wujud’ kita yang sesungguhnya. Berkaryalah dengan tari saman dari  Aceh, bermusiklah dan mainkanlah panggung sandiwara khas Indonesia. Dengan begitu ketika para American, British, atauJapanese melihat karya kita, mereka akan langsung sadar bahwa karya itu milik anak Indonesia. Mari kawan kita lepaskan topeng Amerika ataupun Korea kita, berkaryalah dengan wajah kita sendiri. Yaitu wajah Indonesia.



Source :

1.      Yasni, Sedarwati. (2010). Citizenship. Bogor. Penerbit Media Aksara
2.      gunadarma.ac.id. (online).Identitas Nasional. Available from: www.arynatalina.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/.../Identitas+Nasional.ppt  [accessed at: 20 October 2011]                              
3.      binsangadjitar.wordpress.com. (online). Identitas nasional. Available from: www.binsangadjitar.wordpress.com [accessed at: 20 October 2011]
4.      youtube.com. (online). National Identity for Rudolfo de la Garza . Available from: www.youtube.com [accessed at: 20 October 2011]                              




No comments:

Post a Comment